Minggu, 26 Februari 2017





KEGAGALAN PEMERINTAH DALAM PENERAPAN PRINSIP REIVENTING GOVERNMENT ‘PEMERINTAHAN MILIK RAKYAT’ DI ACEH

ARTIKEL

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Teori Organisasi dan Birokrasi
Dosen Pengampu: Drs. Kholik Azhari, M.Si


Oleh:
1.      Nissa’ Dian K.S.                  (150910201010)
2.      Woni Tri Marsi                     (150910201020)
3.      Muhammad Yazid H.          (150910201030)
4.      Tommi Indracesar                (150910201040)
5.      Lella Nurhayati                    (150910201050)
6.      Nafiatus Saputri                   (150910201060)


PROGRAM STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2016

Realita dalam Penerapan Pemerintahan Milik Rakyat
Birokrasi bisa juga disebut dengan pengorganisasian yang biasanya dilakukan oleh pemerintah atau lembaga pemerintah.  Dalam perkembangannya, birokrasi mengalami beberapa kali perombakan.  Hal tersebut dikarenakan pemerintah membutuhkan pembaharuan sistem agar birokrasi semakin baik. Saat ini birokrasi yang diterapkan adalah Reinventing Goverment. Menurut David Osborn dan Peter Plastrik (2004) Reinventing Goverment  merupakan transformasi system dan organisasi pemerintah secara fundamental guna menciptakan peningkatan dramatisdalam efektifitas, efisiensi, dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Didalam reinventing goverment terdapat beberapa prinsip salah satunya “Pemerintah adalah milik rakyat” dimana rakyat mempunyai hak penuh untuk memberi kontrol pada pemerintah, sehingga pemerintah tidak bisa semena-mena dalam melayani rakyat. Rakyat berkedudukan sebagai citizen yang harus mendapatkan pelayanan prima dari pemerintah.
Realitanya, tidak semua pelayanan yang diberikan pemerintah kepada rakyat dapat dirasakan sehingga mengakibatkan ketidakpemerataan pelayanan, salah satunya yang terjadi di Aceh. Hal tersebut mengakibatkan adanya kecemburuan sosial yang terjadi pada tahun 1970. Jumlah pengangguran yang membengkak seiring dengan pertumbuhan rakyat di Aceh. Presiden Soekarno menjanjikan diterapkannya syariat Islam setelah kemerdekaan berakhir, akan tetapi janji tersebut tidak pernah dipenuhi. Aceh diberikan status Daerah Istimewa Aceh tetapi masyarakat aceh tidak pernah merasakan keistimewaan tersebut, karena pemerintah pusat tidak pernah memberikan fasilitas dengan perangkat hukum, perundang – undangan, dan anggaran guna merealisasikan keistimewaan tersebut. Selain itu,  faktor kebijakan Orde Baru yang di tekankan pada pembangunan yang sentralistik dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik juga tidak memberikan dampak positif terhadap Aceh. Hal yang demikian mengakibatkan hubungan pusat dan daerah menjadi tidak harmonis, inilah yang menjadi pusat dari dua gerakan separatis utama di Aceh. Setelah pemberontakan DI/ TII pada tahun 1953 kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat kembali dan rakyat Aceh kembali terefleksikan dalam pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) yang diproklamasikan pada 4 Desember 1976 oleh Hasan Tiro.
Sampai saat ini GAM masih aktif di Aceh. Apabila ada gejolak politik yang dirasa merugikan Aceh,  GAM akan menjadi barisan paling depan dalam menuntut pemerintah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pemerintah tetap harus waspada dengan GAM, karena pada realitanya pemerintahan milik rakyat yang sebenarnya memang belum dapat terimplementasikan dengan baik diseluruh Indonesia, termasuk juga di Aceh.
Reinventing Government
Optimalisasi pelayanan publik oleh pemerintah telah lama berkembang dalam studi administrasi publik. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah terjadi dikalangan para pakar mengenai cara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efisien, tanggap, dan akuntabel. Masing-masing pakar memaparkan teori dan atau membantah dan memperbaiki teori yang ada sebelumnya. Pelayanan publik di Indonesia saat ini masih belum optimal, terbukti dengan adanya masalah-masalah yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun ini mengenai ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah. Dalam mengupayakan optimalisasi pelayanan publik untuk rakyat, pemerintah menganut prinsip yang di gagaskan oleh Osborne dan Gaebler (2004) tentang Reinventing Government, prinsip ini mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi dan untuk optimalisasi pelayanan publik. 10 prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Pemerintahan katalis: mengarahkanketimbang mengayuh (Steering Rather Than Rowing ).
2.      Pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani( Empowering raher than Serving ).
3.      Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalampemberian pelayanan( Injecting Competition into service Delivery ).
4.      Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yangdigerakkan oleh peraturan(Transforming Rule-Driven Organizations) menjadi digerakkan oleh misi (mission-driven).
5.      Pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan ( Funding outcomes, Not input ).
6.      Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan,bukan boirokrasi( Meeting the Needs of Customer, not be Bureaucracy ).
7.      Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning Rather than Spending).
8.      Pemerintahan antisipatif(anticipatory government): mencegah daripada mengobati( Preventon Rather than Cure).
9.      Pemerintahan desentralisasi(decentralized government): dari hierarki menuju partisipasi dan timkerja ( From Hierarchy to Participation and Teamwork ).
10.  Pemerintahan berorientasi pasar: mendongkrakperubahan melalui pasar(market oriented government).
Kali ini, fokus pembahasan terletak pada prinsip kedua yaitu pemerintahan milik rakyat berarti memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir. Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi.Pemerintah milik rakyat yang dapat pula diartikan mendorong mekanisme control atas pelayanan lepas dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat. Masyarakat dapat membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat, perhatian lebih baik dan lebih kreatif dalam memecahkan masalah. Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Dengan adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya sendiri (community self-help). Dengan adanya kontrol dari masyarakat, aparatur pemerintahan (pejabat eksekutif dan legislatif) akan memiliki komitmen yang lebih baik dan lebih peduli serta lebih kreatif dalam memecahkan masalah.
Adanya Gerakan Aceh Merdeka ketika di benturkan sama teori yang ada maka analisis yang digunakan ialah pendekatan pemerintah serta pemerataan pembangungan baik di bidang SDM maupun SDA. Adanya pemerintahan milik rakyat artinya trias Politica yaitu dari, oleh, untuk rakyat seharusnya menjadi pedoman utuh pemerintah dalam menjalankan wewenangnya , masyarakat bukan menjadi objek untuk pelayanan publik tetapi masyarakat berhak menentukan layanan apa saja yang berhak masyarakat terima karena rakyat juga sebagai subjek dari pelayanan tersebut. Masyarakat Aceh yang ikut dalam GAM menilai pemerintah cuma memfokuskan pembangunan di daerah jawa dan hal itu lah dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila yang salah satunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesi. Padahal jika ditinjau dari pemasukan dana ke APBN maka aceh jauh lebih tinggi dibandin dengan daerah yang ada di jawa tetapi keterbalikan terjadi di infrastruktur dan pembangunan lainnya aceh di aak tirikan padahal aceh juga termasuk daerah memiliki keistimewaan sama halnya provinsi Yogyakarta. Pemerintah yang ada di aceh sendiri tidak terlalu memperdulikan rakyat tetapi lebih mementingkan kepentingan pribadi karena masyarakat aceh dinilai pemerintah cukup makmur dengan kondisi alam yang ada tetapi di lihat dari segi fisik dan pengelolaan sumber daya yang ada masyarakat aceh tertinggal sehingga masyarakat aceh menjadi buruh atau budak di negeri sendiri yang dipimpin oleh orang non-aceh. Banyak ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di aceh sehingga banyak oknum yang memanfaatkan kan kondisi tersebut untuk memberontak supaya lepas dari NKRI mulai dari sistem hukum yang berbeda, budaya religius dan sumber daya alam yang melimpah. Dan di sisi lain di aceh banyak mafia-mafia yang tumbuh pesat hal itulah yang mendorong banyaknya atau maraknya isu aceh lepas dari NKRI karena sistem yang dipakai oleh indonesia terlalu ketat dan para mafia tidak bisa bergerak bebas seperti mafia Narkoba, mafia perdagangan manusia dan sebagainya.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan bentuk kekecewaan yang diakibatkan oleh pemerintah pusat yang menganut paham sentralisme. GAM dideklarasikan oleh Hasan Tiro pada tahun 1976. Tidak hanya itu Aceh juga turut mendukung perjuangan Indonesia dalam menghadapi Belanda guna mempertahankan kemerdekaan. Aceh turut menyumbangkan kontribusi yang cukup besar bahkan disebut sebagai daerah modal Republik Indonesia oleh Soekarno.
            Pada awal tahun 1970 terjadi kecemburuan-kecemburuan sosial pada masyarakat Aceh menjadikan kondisi Aceh menjadi beda. Penemuan sumbergas di Arum, lalu pembukaan sejumlah kilang raksasa lainya di zona industri Lhoksumawe adalah faktor lain yang tak bisa dipisahkan dari warna konflik setempat. Jumlah pengangguran yang membengkak seiring tumbuhnya generasi pencari kerja baru di Aceh makin menyuburkan kondisi kecemburuan sosial.
            Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memiliki identitas kultural yang dijunjung tinggi keberadaanya. Kultural di Aceh ini sangat erat dengan nilai-nilai Islam. Kuatnya cultural tersebut menyebabkan Aceh menuntut diterapkanya identitas keislaman di Aceh. Selanjutnya yaitu kebijakan pemerintah OrdeBaru yaitu yang menekankan pada pembangunan dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset-aset sumberdaya alam di Aceh diesploitasi dalam konteks pembangunan ini. Hubungan pusat dengan daerah yang tidak harmoni sinilah yang menjadi pusat dari dua gerakan sparatisme di Aceh. Setelah pemberontakan DI/TII tahun 1953 kekecewaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat kembali terefleksikan dalam pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamasikan oleh Hasan Tiro pada tahun 1976.
Ada beberapa faktor penyebab Gerakan Aceh Merdeka (GAM), diantaranya adalah:
FAKTOR EKONOMI
Adanya eksploitasi ekonomi menjadi akar konflik yang patut dicermati. Aceh adalah daerah yang kaya dengan sumber daya alam. Terbukti dengan ditemukanya ladang gasalam Arun. Sejak beroperasinya kilang  gas Arun pada tahun 1977 di Lhoksumawe, menjadikan Aceh sebagai kawasan industri strategis. Kestrategisan ini bertambah dengan berdirinya pabrik pupuk Iskandar Muda dan pabrik pupuk Asean serta pabrik kertas PT Kraft. Kekayaan Aceh ini terus digali, serta beroperasinya perusahaan-perusahaan Nasional ini menjadikan Aceh penyumbang devisa negara yang tidak sedikit. Sebagai gambaran pada tahun 1993 dari 6,44 triliun penghasilan bersih negara dari sector migas hanya 453,9 milyar yang kembali ke Aceh. Kekayaan daerah Aceh tersebut terserap kepemerintah pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh untuk keperluan pembangunan, sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari provinsi yang lainya.
FAKTOR BUDAYA
Sejak dahulu Aceh adalah daerah istimewa yang berbeda dengan daerah lainya di Nusantara. Selain memegang teguh prinsip syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, Aceh merupakan  kesultanan yang merdeka sebelum datangnya kolonil Belanda tahun 1873, ditambah lagi Aceh memiliki identitas regional, etnis dan nasionalisme yang kuat. Keinginan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam begitu kuatnya mendapatkan tantangan keras dari pemerintah pusat, karena keinginan kuat tersebut dianggap pemerintah dapat memecah belah Indonesia yang baru. Pikiran ini justru sangat bertentangan bagi rakyat Aceh yang menganggapi justru pemerintahan Soekarno tidak sesuai dengan sila pertama. Usaha masyarakat Aceh untuk melestarikan seperti yang dijelaskan diatas dianggap sebagai ancaman pada masa pemerintahan Soekarno dan ideologi pembangunan yang sentralistik pada masa pemerintahan Soeharto.
FAKTOR KEKECEWAAN-KEKECEWAAN YANG DIRASAKAN MASYARAKAT ACEH
Presiden Soekarno tidak memenuhi janjinya yaitu diterapkanya syariat Islam di Aceh setelah perjuangan kemerdekaan berakhir. Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat Islam seperti yang telah dijanjikan, tetapi Aceh justru dimasukkan kedalam Provinsi Sumatera Utara. Kekecewaan ini menghasilkan pemberontakan DI/TII tahun 1953. Selain itu walaupun diberikan status Daerah Istimewa Aceh, masyarakat Aceh sama sekali tidak merasakan keistimewaan tersebut. Hal ini disebabkan karena pemerintah pusat tidak memfasilitasinya dengan perangkat hukum, perundang-undangan dan peraturan maupun penyediaan anggaran yang memadai untuk merealisasikan keistimewaan tersebut. Akibatnya, keistimewaan tersebut hanya merupakan simbol kosong.
Hal-hal yang Harus Dilakukan Pemerintah
Pemerintah diharapkan lebih cerdas dalam menanggapi masalah dan pemerintah harus lebih melayani rakyat jangan hanya rakyat saja yang harus melayani pemerintah. Pemerintah harus memegang teguh semboyan NKRI yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu, pemerintah diharapkan tidak pilih kasih atau menganaktirikan provinsi manapun yang ujung-ujungnya akan mengancam kesatuan Indonesia, untuk masyarakat dihimbau untuk saling toleransi dan diharapkan menjauhkan diri dari tindakan SARA. Sekalipun ingin menyuarakan keadilan hendaklah dilakukan dengan kepala dingin dan tanpa kekerasan, karena yang akan menjadi korban dari kekerasan tersebut adalah dari masyarakat itu sendiri. Rasa saling percaya dan saling membutuhkan dengan pemerintah diharapkan bias memupuk nasionalisme dan menjauhkan diri dari separatisme.


Sumber:
Osborn, David dan Peter Plastrik. 2004. Memangkas Birokrasi. Jakarta. CV Teruna Geafica


0 komentar:

Posting Komentar