KEGAGALAN PEMERINTAH DALAM PENERAPAN PRINSIP
REIVENTING GOVERNMENT ‘PEMERINTAHAN MILIK RAKYAT’ DI ACEH
ARTIKEL
Diajukan Untuk
Memenuhi Tugas Akhir Mata Kuliah Teori Organisasi dan Birokrasi
Dosen Pengampu:
Drs. Kholik Azhari, M.Si
Oleh:
1.
Nissa’
Dian K.S. (150910201010)
2.
Woni
Tri Marsi (150910201020)
3.
Muhammad
Yazid H. (150910201030)
4.
Tommi
Indracesar (150910201040)
5.
Lella
Nurhayati (150910201050)
6.
Nafiatus
Saputri (150910201060)
PROGRAM
STUDI ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN
ILMU ADMINISTRASI
FAKULTAS
ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS
JEMBER
2016
Realita dalam Penerapan Pemerintahan
Milik Rakyat
Birokrasi
bisa juga disebut dengan pengorganisasian yang biasanya dilakukan oleh
pemerintah atau lembaga pemerintah. Dalam
perkembangannya, birokrasi mengalami beberapa kali perombakan. Hal tersebut dikarenakan pemerintah
membutuhkan pembaharuan sistem agar birokrasi semakin baik. Saat ini birokrasi
yang diterapkan adalah Reinventing Goverment. Menurut David Osborn dan Peter
Plastrik (2004) Reinventing Goverment
merupakan transformasi system dan organisasi pemerintah secara
fundamental guna menciptakan peningkatan dramatisdalam efektifitas, efisiensi,
dan kemampuan mereka untuk melakukan inovasi. Didalam reinventing goverment
terdapat beberapa prinsip salah satunya “Pemerintah adalah milik rakyat” dimana
rakyat mempunyai hak penuh untuk memberi kontrol pada pemerintah, sehingga
pemerintah tidak bisa semena-mena dalam melayani rakyat. Rakyat berkedudukan
sebagai citizen yang harus
mendapatkan pelayanan prima dari pemerintah.
Realitanya,
tidak semua pelayanan yang diberikan pemerintah kepada rakyat dapat dirasakan
sehingga mengakibatkan ketidakpemerataan pelayanan, salah satunya yang terjadi
di Aceh. Hal tersebut mengakibatkan adanya kecemburuan sosial yang terjadi pada
tahun 1970. Jumlah pengangguran yang membengkak seiring dengan pertumbuhan rakyat
di Aceh. Presiden Soekarno menjanjikan diterapkannya syariat Islam setelah
kemerdekaan berakhir, akan tetapi janji tersebut tidak pernah dipenuhi. Aceh
diberikan status Daerah Istimewa Aceh tetapi masyarakat aceh tidak pernah
merasakan keistimewaan tersebut, karena pemerintah pusat tidak pernah
memberikan fasilitas dengan perangkat hukum, perundang – undangan, dan anggaran
guna merealisasikan keistimewaan tersebut. Selain itu, faktor kebijakan Orde Baru yang di tekankan
pada pembangunan yang sentralistik dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi
dan stabilitas politik juga tidak memberikan dampak positif terhadap Aceh. Hal
yang demikian mengakibatkan hubungan pusat dan daerah menjadi tidak harmonis,
inilah yang menjadi pusat dari dua gerakan separatis utama di Aceh. Setelah
pemberontakan DI/ TII pada tahun 1953 kekecewaan rakyat Aceh terhadap
pemerintah pusat kembali dan rakyat Aceh kembali terefleksikan dalam
pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka ( GAM ) yang diproklamasikan pada 4 Desember
1976 oleh Hasan Tiro.
Sampai
saat ini GAM masih aktif di Aceh. Apabila ada gejolak politik yang dirasa
merugikan Aceh, GAM akan menjadi barisan
paling depan dalam menuntut pemerintah. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
pemerintah tetap harus waspada dengan GAM, karena pada realitanya pemerintahan
milik rakyat yang sebenarnya memang belum dapat terimplementasikan dengan baik
diseluruh Indonesia, termasuk juga di Aceh.
Reinventing Government
Optimalisasi
pelayanan publik oleh pemerintah telah lama berkembang dalam studi administrasi
publik. Sejak beberapa dekade lalu, polemik sudah terjadi dikalangan para pakar
mengenai cara untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan efisien, tanggap,
dan akuntabel. Masing-masing pakar memaparkan teori dan atau membantah dan
memperbaiki teori yang ada sebelumnya. Pelayanan publik di Indonesia saat ini
masih belum optimal, terbukti dengan adanya masalah-masalah yang terjadi di Indonesia
dalam beberapa tahun ini mengenai ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah.
Dalam mengupayakan optimalisasi pelayanan publik untuk rakyat, pemerintah
menganut prinsip yang di gagaskan oleh Osborne dan Gaebler (2004) tentang Reinventing Government, prinsip ini
mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi dan untuk optimalisasi
pelayanan publik. 10 prinsip tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pemerintahan
katalis: mengarahkanketimbang mengayuh (Steering
Rather Than Rowing ).
2. Pemerintahan
milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani( Empowering raher than Serving ).
3. Pemerintahan
yang kompetitif: menyuntikkan persaingan ke dalampemberian pelayanan( Injecting Competition into service Delivery
).
4. Pemerintahan
yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yangdigerakkan oleh peraturan(Transforming Rule-Driven Organizations)
menjadi digerakkan oleh misi (mission-driven).
5. Pemerintahan
yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan ( Funding outcomes, Not input ).
6. Pemerintahan
berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan,bukan boirokrasi( Meeting the Needs of Customer, not be
Bureaucracy ).
7. Pemerintahan
wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan (Earning Rather than Spending).
8. Pemerintahan
antisipatif(anticipatory government):
mencegah daripada mengobati( Preventon
Rather than Cure).
9. Pemerintahan
desentralisasi(decentralized government):
dari hierarki menuju partisipasi dan timkerja ( From Hierarchy to Participation and Teamwork ).
10. Pemerintahan
berorientasi pasar: mendongkrakperubahan melalui pasar(market oriented government).
Kali
ini, fokus pembahasan terletak pada prinsip kedua yaitu pemerintahan milik
rakyat berarti memberi wewenang ketimbang melayani. Artinya, birokrasi
pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan
dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka.
Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan
inisiatif dari mereka sendiri. Pemberdayaan masyarakat, kelompok-kelompok
persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah
mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim
partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran
bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketika pemerintah mendorong
kepemilikan dan kontrol ke dalam masyarakat, tanggung jawabnya belum berakhir.
Pemerintah mungkin tidak lagi memproduksi jasa, tetapi masih bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan telah terpenuhi.Pemerintah milik
rakyat yang dapat pula diartikan mendorong mekanisme control atas pelayanan
lepas dari birokrasi dan diserahkan kepada masyarakat. Masyarakat dapat
membangkitkan komitmen mereka yang lebih kuat, perhatian lebih baik dan lebih
kreatif dalam memecahkan masalah. Mengurangi ketergantungan masyarakat kepada
pemerintah. Dengan adanya prinsip ini, Pemerintah sebaiknya memberi wewenang
kepada masyarakat, sehingga menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya
sendiri (community self-help). Dengan
adanya kontrol dari masyarakat, aparatur pemerintahan (pejabat eksekutif dan
legislatif) akan memiliki komitmen yang lebih baik dan lebih peduli serta lebih
kreatif dalam memecahkan masalah.
Adanya
Gerakan Aceh Merdeka ketika di benturkan sama teori yang ada maka analisis yang
digunakan ialah pendekatan pemerintah serta pemerataan pembangungan baik di
bidang SDM maupun SDA. Adanya pemerintahan milik rakyat artinya trias Politica yaitu dari, oleh, untuk
rakyat seharusnya menjadi pedoman utuh pemerintah dalam menjalankan wewenangnya
, masyarakat bukan menjadi objek untuk pelayanan publik tetapi masyarakat
berhak menentukan layanan apa saja yang berhak masyarakat terima karena rakyat
juga sebagai subjek dari pelayanan tersebut. Masyarakat Aceh yang ikut dalam GAM
menilai pemerintah cuma memfokuskan pembangunan di daerah jawa dan hal itu lah
dinilai tidak sesuai dengan nilai-nilai pancasila yang salah satunya keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesi. Padahal jika ditinjau dari pemasukan dana
ke APBN maka aceh jauh lebih tinggi dibandin dengan daerah yang ada di jawa
tetapi keterbalikan terjadi di infrastruktur dan pembangunan lainnya aceh di
aak tirikan padahal aceh juga termasuk daerah memiliki keistimewaan sama halnya
provinsi Yogyakarta. Pemerintah yang ada di aceh sendiri tidak terlalu
memperdulikan rakyat tetapi lebih mementingkan kepentingan pribadi karena
masyarakat aceh dinilai pemerintah cukup makmur dengan kondisi alam yang ada
tetapi di lihat dari segi fisik dan pengelolaan sumber daya yang ada masyarakat
aceh tertinggal sehingga masyarakat aceh menjadi buruh atau budak di negeri
sendiri yang dipimpin oleh orang non-aceh. Banyak ketimpangan-ketimpangan yang
terjadi di aceh sehingga banyak oknum yang memanfaatkan kan kondisi tersebut
untuk memberontak supaya lepas dari NKRI mulai dari sistem hukum yang berbeda,
budaya religius dan sumber daya alam yang melimpah. Dan di sisi lain di aceh
banyak mafia-mafia yang tumbuh pesat hal itulah yang mendorong banyaknya atau
maraknya isu aceh lepas dari NKRI karena sistem yang dipakai oleh indonesia
terlalu ketat dan para mafia tidak bisa bergerak bebas seperti mafia Narkoba,
mafia perdagangan manusia dan sebagainya.
Gerakan
Aceh Merdeka (GAM) merupakan bentuk kekecewaan yang diakibatkan oleh pemerintah
pusat yang menganut paham sentralisme. GAM dideklarasikan oleh Hasan Tiro pada
tahun 1976. Tidak hanya itu Aceh juga turut mendukung perjuangan Indonesia
dalam menghadapi Belanda guna mempertahankan kemerdekaan. Aceh turut
menyumbangkan kontribusi yang cukup besar bahkan disebut sebagai daerah modal
Republik Indonesia oleh Soekarno.
Pada awal tahun 1970 terjadi
kecemburuan-kecemburuan sosial pada masyarakat Aceh menjadikan kondisi Aceh
menjadi beda. Penemuan sumbergas di Arum, lalu pembukaan sejumlah kilang
raksasa lainya di zona industri Lhoksumawe adalah faktor lain yang tak bisa
dipisahkan dari warna konflik setempat. Jumlah pengangguran yang membengkak
seiring tumbuhnya generasi pencari kerja baru di Aceh makin menyuburkan kondisi
kecemburuan sosial.
Masyarakat Aceh adalah masyarakat
yang memiliki identitas kultural yang dijunjung tinggi keberadaanya. Kultural
di Aceh ini sangat erat dengan nilai-nilai Islam. Kuatnya cultural tersebut
menyebabkan Aceh menuntut diterapkanya identitas keislaman di Aceh. Selanjutnya
yaitu kebijakan pemerintah OrdeBaru yaitu yang menekankan pada pembangunan
dengan didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik. Aset-aset
sumberdaya alam di Aceh diesploitasi dalam konteks pembangunan ini. Hubungan
pusat dengan daerah yang tidak harmoni sinilah yang menjadi pusat dari dua
gerakan sparatisme di Aceh. Setelah pemberontakan DI/TII tahun 1953 kekecewaan
rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat kembali terefleksikan dalam pemberontakan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang diproklamasikan oleh Hasan Tiro pada tahun
1976.
Ada
beberapa faktor penyebab Gerakan Aceh Merdeka (GAM), diantaranya adalah:
FAKTOR
EKONOMI
Adanya
eksploitasi ekonomi menjadi akar konflik yang patut dicermati. Aceh adalah daerah
yang kaya dengan sumber daya alam. Terbukti dengan ditemukanya ladang gasalam Arun.
Sejak beroperasinya kilang gas Arun pada
tahun 1977 di Lhoksumawe, menjadikan Aceh sebagai kawasan industri strategis. Kestrategisan
ini bertambah dengan berdirinya pabrik pupuk Iskandar Muda dan pabrik pupuk Asean
serta pabrik kertas PT Kraft. Kekayaan Aceh ini terus digali, serta beroperasinya
perusahaan-perusahaan Nasional ini menjadikan Aceh penyumbang devisa negara yang
tidak sedikit. Sebagai gambaran pada tahun 1993 dari 6,44 triliun penghasilan bersih
negara dari sector migas hanya 453,9 milyar yang kembali ke Aceh. Kekayaan daerah
Aceh tersebut terserap kepemerintah pusat tanpa pengembalian yang sepadan ke Aceh
untuk keperluan pembangunan, sehingga Aceh mengalami ketertinggalan dari provinsi
yang lainya.
FAKTOR
BUDAYA
Sejak
dahulu Aceh adalah daerah istimewa yang berbeda dengan daerah lainya di Nusantara.
Selain memegang teguh prinsip syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, Aceh merupakan kesultanan yang merdeka sebelum datangnya kolonil
Belanda tahun 1873, ditambah lagi Aceh memiliki identitas regional, etnis dan nasionalisme
yang kuat. Keinginan Aceh untuk melaksanakan syariat Islam begitu kuatnya mendapatkan
tantangan keras dari pemerintah pusat, karena keinginan kuat tersebut dianggap pemerintah
dapat memecah belah Indonesia yang baru. Pikiran ini justru sangat bertentangan
bagi rakyat Aceh yang menganggapi justru pemerintahan Soekarno tidak sesuai dengan
sila pertama. Usaha masyarakat Aceh untuk melestarikan seperti yang dijelaskan diatas
dianggap sebagai ancaman pada masa pemerintahan Soekarno dan ideologi pembangunan
yang sentralistik pada masa pemerintahan Soeharto.
FAKTOR
KEKECEWAAN-KEKECEWAAN YANG DIRASAKAN MASYARAKAT ACEH
Presiden
Soekarno tidak memenuhi janjinya yaitu diterapkanya syariat Islam di Aceh setelah
perjuangan kemerdekaan berakhir. Aceh tidak diberi otonomi dengan penerapan syariat
Islam seperti yang telah dijanjikan, tetapi Aceh justru dimasukkan kedalam Provinsi
Sumatera Utara. Kekecewaan ini menghasilkan pemberontakan DI/TII tahun 1953. Selain
itu walaupun diberikan status Daerah Istimewa Aceh, masyarakat Aceh sama sekali
tidak merasakan keistimewaan tersebut. Hal ini disebabkan karena pemerintah pusat
tidak memfasilitasinya dengan perangkat hukum, perundang-undangan dan peraturan
maupun penyediaan anggaran yang memadai untuk merealisasikan keistimewaan tersebut.
Akibatnya, keistimewaan tersebut hanya merupakan simbol kosong.
Hal-hal yang Harus Dilakukan
Pemerintah
Pemerintah
diharapkan
lebih
cerdas
dalam
menanggapi
masalah
dan
pemerintah
harus
lebih
melayani
rakyat
jangan
hanya
rakyat
saja yang harus
melayani
pemerintah. Pemerintah
harus
memegang
teguh
semboyan NKRI yaitu
Bhinneka Tunggal Ika. Selain
itu, pemerintah diharapkan
tidak
pilih
kasih
atau
menganaktirikan
provinsi
manapun yang ujung-ujungnya
akan
mengancam
kesatuan Indonesia, untuk
masyarakat
dihimbau
untuk
saling
toleransi
dan
diharapkan
menjauhkan
diri
dari
tindakan
SARA.
Sekalipun
ingin
menyuarakan
keadilan
hendaklah
dilakukan
dengan
kepala
dingin
dan
tanpa
kekerasan, karena yang akan
menjadi korban dari
kekerasan
tersebut
adalah
dari
masyarakat
itu
sendiri. Rasa saling
percaya
dan
saling
membutuhkan
dengan
pemerintah
diharapkan
bias
memupuk
nasionalisme
dan
menjauhkan
diri
dari
separatisme.
Sumber:
Osborn,
David dan Peter Plastrik. 2004. Memangkas
Birokrasi. Jakarta. CV Teruna Geafica
https://jakarta.kemenkumham.go.id/download/karya-ilmiah/pelayanan-publik/73-reformasi-birokrasi-dan-reinventing-government-upaya-peningkatan-kualitas-pelayanan-publik/file
[diakses pada tanggal 17 desember 2016]
0 komentar:
Posting Komentar